Langit sore itu berwarna jingga. Angin pelan meniupkan daun-daun kering yang jatuh di halaman rumah sakit. Di bangku taman kecil dekat ruang rawat inap, Hana duduk diam, menatap langit. Tangannya menggenggam buku harian yang sudah mulai usang. Ia baru selesai menuliskan satu kalimat: “Andai rasa sakit ini bisa kugantikan dengan pelukan.”
Tak lama kemudian, langkah kaki yang sangat dikenalnya menghampiri.
“Aku bawa teh hangat kesukaanmu,” ujar Raka, sambil menyodorkan gelas termos kecil.
Hana tersenyum lemah, “Terima kasih. Kamu datang lagi.”
“Tentu. Setiap hari, kan? Aku janji, aku akan di sini terus.”
Raka duduk di sampingnya. Matanya menatap gadis itu dengan sayang. Rambut Hana yang dulu panjang dan tebal, kini tinggal tipis karena kemoterapi. Kulitnya pucat. Tapi senyumnya—senyumnya masih sama, masih hangat seperti pertama kali Raka jatuh cinta padanya dua tahun lalu.
Sebelum penyakit itu datang.
Satu bulan sebelumnya, Hana didiagnosis leukemia stadium lanjut. Dunia seakan runtuh bagi mereka berdua—terutama Raka. Namun di saat banyak orang mulai menjauh karena takut atau tak tahu harus berkata apa, Raka justru semakin dekat. Ia ikut mendampingi setiap sesi pengobatan, menghibur Hana dengan cerita-cerita konyol, dan menuliskan surat-surat kecil yang ia selipkan di bantal rumah sakit Hana.
“Kalau kamu lelah, kamu boleh istirahat, Rak. Kamu tidak harus selalu ada di sini,” ucap Hana suatu malam, saat ia merasa tubuhnya mulai terlalu rapuh untuk digenggam.
Tapi Raka hanya menggeleng. “Aku lebih memilih lelah bersamamu daripada bahagia tanpamu.”
Hari demi hari berlalu. Musim hujan datang. Kondisi Hana naik turun. Kadang membaik, kadang kembali melemah. Tapi satu yang tak pernah berubah: Raka tetap di sana. Di setiap pagi yang dingin, siang yang berat, dan malam-malam penuh tangis.
Dan suatu sore, ketika langit kembali jingga seperti pertama kali mereka duduk di taman rumah sakit, Hana menggenggam tangan Raka.
“Aku tahu aku tidak tahu akan sembuh atau tidak… Tapi kalau ada yang membuat aku merasa kuat sampai hari ini, itu karena kamu.”
Raka tersenyum, menatap mata Hana yang mulai berkaca-kaca.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, Han. Tapi selama aku masih diizinkan untuk bernapas, aku akan temani kamu. Kita akan sembuh bersama—atau setidaknya, kita akan tetap bersama.”
Senja itu, tak hanya langit yang penuh warna. Hati Hana pun perlahan mulai pulih—bukan karena obat, tapi karena cinta yang tak pernah pergi.